- Published on
Review Semester 3
- Authors
- Name
- Asfiolitha Wilmarani
- Trakteer
Gelo, udah mau tengah semester tapi ini review belom jadi-jadi ditulis wkwkwk. Habisnya liburan cuman seuprit, terus dipenuhi dengan perbudakan, jadi ngga bisa nyempetin banyak-banyak. There's a lot to cover, mari kita mulai saja. :D Enjoy the ride~
Siak War from Home
Jadi semester kemaren adalah pengalaman pertama gue siak war dari rumah. Yah, bukannya gue udah pernah siak war berkali-kali sih. Baru dua kali malah. Tapi, yang pertama itu gue laksanakan di pacil dengan koneksi internet yang yahud banget. Rasanya rada jomplang sama koneksi di rumah yang kadang ada kadang engga :")
Tapi intinya mah, entah bagaimana dengan koneksi pas-pasan itu, gue masih berhasil dapetin hampir semua kelas yang gue inginkan. Tapi memang saat itu gue ngga punya plan yang saklek, berhubung pengalaman PJJ selama semester dua mengajarkan gue bahwa cara mengajar dosen ngga terlalu berpengaruh, gue cuma perlu dosen yang ngasih nilai dengan baik hati karena pada akhirnya gue self-study juga kok, hehehehehe.
Semester ini gue ambil 22 SKS, 7 di antaranya adalah SKS ekstra alias nyodok.
POK
Jujur aja, saking gak pernahnya menghadiri kelas POK, sekarang gue udah gabisa ingat gue ada di kelas POK mana. Abisnya semua pembelajaran dilakukan melalui nonton video, dan semua narasumber di video itu adalah dosen yang sama, so it didn't really matter.
SDA
Kalo kelas ini, gue ambil yang jadwalnya ngga bentrok dengan matkul nyodok yang gue ambil. Terus, kebetulan dosen yang ngajar adalah dosen yang sama dengan dosen yang ngajar gue di Basdat. Jadi selama semester ini, ada 8 SKS gue yang bergantung sama bu dosen itu.
Lengkapnya di Review SDA.
Alin
Kelas Alin sih basically ngga ada pilihannya, berhubung dosen langganannya memang hanya beliau dan beliau memang best dosen untuk Alin. Jadi gue milih kelas yang beliau ajar solo, kebetulan ada dua kelas, tapi keduanya jadwalnya sama persis. Again, ngga ada bedanya juga pada akhirnya.
Kalkulus 2
Nah, yang ini yang sebenernya gue rada maso. Yah, at least orang-orang sekitar gue bilangnya begitu. Jadi ceritanya untuk kelas kalkulus ini, gue ngambil kelasnya si ibu yang ngajar gue di Fisdas dan Matdas 1. Yes, si ibu itu lagi.
Tadinya gue kira beliau akan mengajar di kelas ini secara solo, tapi ternyata beliau duet lagi wkwkwk. Untungnya profesor yang satunya sangat baik dalam hal memberikan soal, jadi gue berhasil selamat. Hampir aja gue terjebak dalam duet maut profesor yang terlalu genius dan soal-soal ibu dosen yang ajaib (seperti yang terjadi semester lalu — lebih lengkapnya di Review Matdas 1). Sebenernya ada kelas yang beliau ajar solo, tapi kelas tersebut bentrok dengan jadwal Lab DDP1, yang saat itu mewajibkan gue stand by dan hadir saat sesi lab.
Yang jadi kelas rebutan sebenernya adalah kelas C, karena itu satu-satunya kelas yang ngga diajar oleh ibu itu dan dosen pengampunya terkenal baik hati. Orang-orang sekitar gue yang sudah trauma dengan pengalaman di Kalkulus 1 akhirnya pada berebut bangku di kelas itu, sementara gue bertahan. Karena, at the end of the day, she's a great lecturer after all. Yang membuat gue jatuh di Kalkulus 1 itu sepenuhnya kesalahan gue sendiri.
MPK Agama
Kalo kelas yang ini sepenuhnya gacha. Sebelum siak war, nama dosennya ngga ditampilin. Terus gue jadinya ngikutin kelas yang dipilih sama temen gue. Alhasil, gue dapet dosen yang sejujurnya rada-rada zonk, tapi ternyata sangat baik hati. Kasus uniknya adalah, dosen gue di matkul ini mengharuskan kami mengumpulkan tugas secara hard-copy dan dikirim secara fisik ke alamat rumahnya dia. Yes. I don't really wanna talk about it.
StatProb
Ini yang ceritanya rada panjang wkwkwk. Gue daftar di kelas Statprob dosen favorit gue kan, tapi ternyata bangkunya overload to-the-max. Sampe akhirnya gue literally ketendang dan dipindahkan ke kelas Statprob-OUT. Lalu kemudian ada kelas baru yang dibuka dan dosen pengajarnya adalah dosen yang terkenal sangat baik hati. Padahal sebelum kelas itu dibuka, gue udah mau mengikhlaskan gue gajadi nyodok. Eh, ternyata dapet second chance. So I took it.
Lengkapnya di Review Statprob.
Basdat
Kelas yang ini juga cuman satu, jadi ngga ada pilihan. Yang rada lucky, ternyata peminatnya ngga sebanyak Statprob, dan kating yang ngulang juga ngga sebanyak Statprob. Jadi gue berhasil mendapatkan bangku dengan nyaman meski internet pas-pasan.
Lengkapnya di Review Basdat.
DDP0
Ini salah satu pengalaman yang cukup menarik. Setiap tahunnya, angkatan yang baru naik pangkat dari maba akan mengadakan semacam tutorial pengenalan pada pemrograman untuk maba-maba yang baru lulus SMA (atau baru masuk pacil, whichever suits you).
Awalnya gue ngga ada niatan untuk terlibat sama sekali, tapi berhubung kedengarannya seru, gue jadi ngajak temen gue untuk partneran dan jadi mentor. Nunggu jawabannya lama banget, sampe udah mau tutup pendaftarannya. Gue udah ngikhlasin kan—ah yaudahlah, berarti emang bukan saatnya gue jadi mentor. Eh, tapi last minute gue dapet kabar beliau udah ngesubmit form pendaftaran. Eh, keterima. Eh, jadi mentor deh kita.
DDP0 ini ada dua batch. Batch pertama itu untuk maba yang masuk lewat SNM dan PPKB, pokoknya mereka-mereka yang ngga melewati UTBK. Di batch pertama ini, pesertanya dibagi jadi kelompok berisi 4-5 orang. Gue dapet kelompok yang isinya empat orang, dan kebetulan pas banget sepasang cewek dan sepasang cowok.
Jadi ceritanya gue ngasih nama grup DDP0 yang batch 1 ini (yang atas) terinspirasi nama grup DDP0 gue dulu waktu maba (yang bawah) :D
Berjalan lancar sih, tapi berhubung ini masih pengalaman pertama banget, baik bagi panitia maupun bagi mentor, ternyata banyak catatan yang harus dievaluasi. Terutama dari segi materi. Yang bikin terharu, ternyata gue dapet feedback kalo gue baik. :") Gue dibilang baik :""")))))). Terus feedback lain yang gue dapat adalah, ternyata gue bisa menyampaikan materinya untuk bisa mereka pahami.
Jujur, itu penemuan baru untuk gue. Sebelum-sebelumnya, gue ngga pernah merasa sebagai orang yang bisa mengajar. Dulu mak gue bilang, gue tu kalo ngajarin orang tapi orangnya ngga ngerti-ngerti, bukannya gue jelasin baik-baik, malah gue omelin. Yah, itu kejadiannya dulu banget sih waktu gue ngajarin mak gue cara main puzzle game mirip Candy Crush. Sejak itu, gue rasa gue meng-internalize kepercayaan itu wkwkwk. Jadi daripada gue ngomelin anak orang yang tidak berdosa, lebih baik gue suruh dia pelajari sendiri aja gitu.
Batch dua tiba-tiba jadi budak orochimaru karena mentornya lagi demen nonton Naruto.
Batch kedua dimulai dan gue dapat kelompok berisi 6 orang. Kali ini cowok semua. Jujur, awalnya gue rada keder. Berhubung partner mentor gue juga nonbetina, gue udah siap dicuekin aja tu di kelompok itu, apalagi kalo yang berhubungan sama ngumpulin assignment ke salah satu mentor dan sebagainya. Tapi ternyata anaknya baik-baik semua, dan kelompok yang ini lebih interaktif dibanding batch pertama.
Ngasdos DDP 1
Semester ini juga pengalaman pertama gue jadi asdos. Sejak tau tentang keberadaan asdos, I've always wanted to be one. Tapi semester sebelumnya gue belom berani ngelamar, gue ngga inget karena apa. Semester ini gue ngelamar, berhubung artinya gue bisa jadi asdos untuk maba dan dapat kenalan yang banyaaak :D
Selengkapnya di Review Pengalaman Asdos DDP1.
UTS
Seinget gue, masa UTS ini starting point saat gue mulai kesepian. Waktu itu gue berhasil mendapat distraction dari grinding untuk persiapan UTS. Hasilnya juga mostly memuaskan, bisa bikin gue ngerasa effort gue worth it. Tapi setelah itu, karena ngga ada yang jadi distraction lagi, everything starts coming down one by one wkwkwk.
Hanya saja gue ternyata belum diperbolehkan untuk breakdown, because of what comes after UTS.
Bidding Frenzy
Inilah yang jadi biang kekhawatiran gue selama beberapa bulan sebelumnya, honestly.
Jadi ceritanya beberapa bulan sebelumnya, gue diajak untuk jadi PJ Kreatif di acara Wisuda Virtual Fakultas Ilmu Komputer Semester Gasal, disingkatnya wisgan (wisuda ganjil). Metode recruitment nya ini open tender, jadi panitia yang akan jadi BPH harus melewati bidding dulu. Bidding ini semacam sidang terbuka, dimana tim panitia diuji kesiapannya oleh steering committee dan elemen pacil yang lain. Berhubung acara gue wisuda, waktu bidding, ada beberapa wisudawan yang dateng juga. Gue semakin keder.
Selama persiapannya, jujur aja gue tertekan. Terutama setelah dibayang-bayangi bidding orang-orang di sekitar gue, yang ikutan open tender untuk organisasi dan kepanitiaan lain. Tidak ada dari mereka yang lulus bidding oneshot. Saat gue lihat pengumuman hasil bidding dan ternyata gaada yang lulus, gimana bisa gue tetep pede? Mereka yang sebegitu keren aja ngga bisa lulus bidding in one try, gimana gue?
Hari-hari menjelang bidding tu udah dag-dig-dug-ser deh pokoknya. Gejalanya gue keringet dingin, lemes, terus beraktivitas tu udah kayak setengah melayang aja wkwkwkwk.
Tapi hari-H biddingnya, somehow gue udah bisa menghipnotis diri. It's just another day I'm going to get through. I can get through this. Just answer the questions, one at a time. You already know everything you need to know.
Waktu bidding dimulai dan gue nyalain kamera, I somehow managed to put my confidence back together. Padahal beberapa hari sebelumnya, gatau deh dia ngumpet di mana. I put on a bit of concealer biar ga suram-suram amat, terus nyari lighting yang bagus (gue pinjem ring-light punya kakak gue tanpa bilang-bilang), and well, I showed them what they usually see. :D
Terus menit demi menit, pertanyaan demi pertanyaan terjawab, tim gue malah dapet compliment kita udah keren banget. Pada tahap itu gue udah ngasih tau diri sendiri to take anything a kating said with a grain of salt. Karena bisa aja mereka bilang begitu untuk boost morale berhubung biddingnya udah berlangsung lama dan biar kita semangat lagi. So I didn't, couldn't, believe anything they said.
Setelah biddingnya berlalu dengan lancar, tentu saja, gue balik uring-uringan lagi. All that's left to do adalah menunggu pengumuman bidding. Kabar baiknya adalah, beberapa hari (atau pekan ya?) kemudian, muncullah pengumuman bidding, dan gue ga ingat kapan terakhir kali gue lebih lega lagi waktu ngeliat warna biru.
Semua rekan tim gue dapet warna biru, ngga ada yang merah. Somehow kami menjadi tim kepanitiaan pertama yang berhasil lulus bidding oneshot tahun ini dan, seinget gue, satu-satunya. Karena kalau ngga salah, beberapa tim kepanitiaan yang lain hanya lulus sebagian. Beberapa anggota timnya either harus dibidding ulang, atau lulus bersyarat.
(litha tidak dianggap bertanggung jawab apabila ada kesalahan informasi tentang kelulusan bidding, harap cek sendiri untuk memastikan kebenarannya)
More on wisgan, mungkin gue nanti akan bikin review lengkapnya. I'm not sure tho, we'll see.
Breaking Down
Yak, setelah pengumuman kelulusan bidding yang sangat melegakan itu, tentu saja bukannya termotivasi, gue malah breakdown. Wkwkwkwk emang, kontradiksi ya. Ingat kah waktu tadi gue bilang pada sekitaran UTS gue mulai kesepian? Gue rasa gue mencapai lowest point nya di sekitar sini.
Sejujurnya, gue udah lupa — dan gamau mengingat lagi — apa yang gue rasakan saat itu. Pokoknya gue something along the lines of terbebani, tertekan, dan mungkin borderline depresi gara-gara akademis dan support system yang mengalami system failure. Gue merasa sendirian, dan lucunya (setelah gue ingat lagi ini jadi lucu, tapi saat itu ngga sama sekali) gue ngga berusaha reach out ke orang lain yang padahal ada di sana. Keluarga, misalnya. They were always in the house, I just chose to keep locking myself up in my room.
Hasilnya, ya, tentu saja, gue malah semakin merasa sendirian dong. Puncaknya mungkin waktu gue ngga ada kerjaan lain selain mandangin langit-langit sambil berusaha ngatur napas dan mata burem gara-gara air, and I did what probably was the stupidest thing to do at the time.
Gue googling untuk gejala orang depresi.
Bahkan gue ngisi quiz online yang judulnya semacam "Am I depressed?" atau "How depressed are you?". Daaan, tentu sajaaa, hasil online quiznya adalah, gue punya moderate to severe depression. 🙂 Because you gotta believe everything you read on the internet, kan? (i'm joking. do not believe anything you read on the internet.)
Dampaknya saat itu, gue rasa gue malah semakin— hancur? mungkin itu kata yang tepat ya. Beberapa hari setelahnya gue merasa disfungsional sebagai manusia. Susah bangun dari kasur karena ngga ada energi. Untuk beberapa menit (mungkin jam) setelah bangun pagi (yang sebenernya udah kesiangan) tu gue diem aja di posisi sebelumnya, masih rebahan dengan mata terbuka, menatap langit-langit sambil, in a way, memberi command ke diri sendiri.
Coba sekarang lo bangun, Lit. Hhh, tapi berat banget. Ayo, bisa kok, lo ada kelas kan jam 10. Ah tapi kan ngga diabsen, apa tidur lagi aja ya? Tapi lo udah keseringan skip, Lit. Gue gapengen kuliah hari ini.
Mental dialogue seperti yang di atas itu sering berulang di hari-hari yang kayak gitu. Kayak perang batin antara dua versi Litha yang sama-sama ngga mau kalah. Everyday was a battle. I made an entire analogy about this situation, dan kalo ga salah somehow gue berhasil mengumpulkan keberanian untuk ngepost itu di sini juga deh.. tapi gamau gue link di post ini. I'll leave the choice to you to look it up kalo memang beneran kepo.
Turning Point
Sampailah ke suatu poin, dimana gue sadar gue udah beneran ngga bisa menghadapi ini sendiri. Gue menyadari kalo gue membutuhkan bantuan orang lain untuk keluar dari situasi ini. Saat itu, mostly karena support system yang mengalami system failure yang gue sebut sebelumnya, gue gatau harus pergi ke mana. Akhirnya gue coba bertanya ke temen gue yang pernah cerita tentang konseling psikologis.
Saat itu, gue kira temen gue itu hidupnya baik-baik aja. Gue kira dia berhasil mendapat konseling teratur dan somehow bisa berhasil melanjutkan semuanya dengan hepi. Tentu saja gue shock saat mempelajari bahwa temen gue itu ternyata udah cuti kuliah selama kira-kira setengah semester, atas rekomendasi psikolognya. Gue ngga menyangka kondisi dia seserius itu, dan tiba-tiba gue jadi takut dengan apa yang akan gue hadapi kalo gue mencoba konseling ini.
Setelah mendapat informasi mengenai konseling dari temen gue itu, butuh waktu beberapa hari lagi untuk gue mengumpulkan keberanian mendaftar. Sampe suatu pagi, I said, screw it. We're doing this. I can't get even more broken than this anyway. There's nothing to lose. Gue isi deh formulir pendaftaran konselingnya.
Web pendaftarannya bilang gue akan menerima email untuk konfirmasi jadwal sesi konseling. Sekitar seminggu berlalu, tapi gue ngga kunjung menerima email. Gue bingung dong, at the same time gue semakin uring-uringan. Tapi di akhir pekan itu, gue dapet pesan whatsapp dari kliniknya. Ternyata jadwal gue udah ditentukan, tapi karena gue ga balas email, konfirmasinya paling lambat hari itu juga jam 10 pagi.
Ingat waktu gue bilang gue kesulitan bangun pagi-pagi? Waktu gue buka pesan itu, udah jam 10.21.
Gue bales pesan itu untuk ngasih tau kalo gue ga menerima email. Ternyata alasannya adalah karena gue typo waktu nulis nama lengkap gue di email, kurang huruf L. Pada akhirnya, gue berhasil mendapat jadwal. I didn't know what to expect, so I expected for the worst, basically.
Konselingnya berjalan tersendat-sendat sejujurnya, dan agak all over the place karena pikiran gue juga lompat-lompat dari one thought to another. Konselornya berusaha meluruskan benang kusut dalem kepala gue, and I very much appreciated her efforts. Sejujurnya gue rada merasa bersalah saat ngomong dengan jujur kalo gue ngga langsung merasa baikan setelah sesi konseling itu. But I learned a lot from it. Banyak advice yang dia kasih, yang setelah gue internalize, gue rasa itu menjadi turning point untuk gue.
Gue akhirnya ngobrol lagi dengan mak gue (yang selama ini gue cuekin) tentang sesi konseling tadi. Terus, one thing led to another, I started wanting to piece myself back together. Gue mulai percaya gue bisa bangkit dari ini. The timing was almost perfect, karena liburan akhir tahun datang ngga lama setelahnya.
Apa Itu Libur?
Jadi, uh, ingat waktu gue cerita gue diajak jadi PJ Kreatif di wisgan? You see, wisgan itu satu kepanitiaan. By the end of the year, saat liburan akhir tahun dimulai, somehow gue udah megang tiga kepanitiaan sekaligus. It happened in a blink, I think I may not have think things through.
Berawal dari pengumuman bidding Educare. Ini salah satu kepanitiaan pacil lainnya yang ngurusin tentang kehidupan pascakampus dan sebagainya. Gue ngasih selamat ke kenalan-kenalan gue yang jadi BPH. Terus, honestly setengah bercanda, gue bilang, "Eh, gue pengen dong jadi staf lo," or something along that line. Jawabannya saat itu adalah ternyata dia udah punya tim sejak sebelum lulus bidding. Gue pikir waktu itu, yaudahlah, nothing to lose juga. Mungkin memang dia udah punya cukup tenaga kerja. Tapi rupanya dia dan timnya rembukan untuk mempertimbangkan ucapan gue. Eh, tau-tau gue diinvite ke grup. Eh, beneran jadi staf deh gue.
Kejadian berikutnya adalah beberapa hari (atau pekan ya?) setelahnya. Gue dapet private chat lagi di Line. Kali ini tawaran untuk join timnya Perak. Perak ini acara lain di pacil yang hubungannya sama kesejahteraan dan kebahagiaan elemen pacil. Basically acara yang mengusahakan keluarga pacil tetep keluarga gitu. Sejujurnya gue mungkin ngga memikirkan yang ini terlalu panjang. Keputusannya hampir ngga gue pikirin malah. Meski dari awal gue ngga ada niatan untuk ikut terlalu banyak kepanitiaan semester ini, PIC dan VPIC nya adalah dua orang keren yang belum pernah ngajak gue kerja bareng sebelumnya. So, it was an honor. Terus setelah gue dengar tim mereka juga udah ada chronos nya (chronos ini nama angkatan maba 2020), gue makin tertarik join dong. Kan gue kepengen kenalan sama maba yang banyaaaak. :D Terus, eh diinvite. Eh, jadi staf lagi deh gue.
Dua kepanitiaan barusan kerjaannya dimulai kira-kira di waktu yang hampir bersamaan. Padahal saat itu gue masih terlibat di wisgan sebagai PJ Kreatif seperti yang tadi gue ceritain. Gara-gara hal ini, gue obrolin mengenai keputusan-keputusan reckless yang baru gue ambil ke PO (project officer) wisgan, essentially atasan gue. Terus, tentu saja mereka ngatain gue gila wkwkwk :")
Entah kenapa at this point gue udah ga sedih lagi dikatain gila. Abisnya, looking back, keputusan yang gue buat emang hampir selalu reckless sih. And I never have a backup plan (more on this, I might discuss about later lol).
Entah bagaimana gue kebagian ngerjain hero-section untuk kedua-duanya lmao
In short, liburan gue habis dalam satu kedipan mata wkwkwk. Sebenernya ngga setiap harinya dipenuhi dengan kerja kerja kerja sih. I still took some days off here and there. Bahkan ada satu yang sangat menyenangkan, rasanya kayak hari Minggu. It was a slow, fun, and wonderful day. Sayang, besokannya gue harus kembali ke perbudakan kerjaan dan persiapan UAS.
New Year's Productivity Boost
Berhubung liburan akhir tahun nya bukan bener-bener liburan (soalnya liburnya sebelum UAS), gue juga sekalian grinding untuk persiapan UAS. Gue gatau apa yang merasuki gue saat itu, tapi di awal-awal tahun itu gue semangat banget untuk grinding.
Entah kemana perginya semua gejala breakdown yang kemarin sempat parah. Pokoknya sekarang gue bisa belajar dengan konsen. Kerjaan gue juga selesai, dan gue beberapa kali get in touch sama temen-temen lama gue.
I really thought the new year was a new beginning for me. Gue bertekad untuk belajar letting go, to build new support systems (that hopefully wont fail this time), dan mungkin berusaha mengembalikan work-life balance gue yang gatau terpental ke mana selama semester ini.
UAS
UAS, I wanna say berjalan dengan lancar jaya, but not really wkwkwk. Seinget gue jadwal pertama itu Statprob, and I flopped it so badly. Saat masih ngerjain aja gue beneran bertanya ke diri sendiri, "Am I gonna fail Statprob after all?" wkwkwk. Abisnya soalnya beneran susah, terus ternyata gue agak meremehkan waktu grinding.
Jadwal berikutnya itu kalo ngga salah kalkulus, jadi gue meluangkan lebih banyak waktu untuk kalkulus dibanding Statprob. Terus soal UAS nya beneran susah. Ada materi yang ngga gue dalami banget, tapi ternyata beneran keluar di UAS. Jadilah UAS Statprob gue jeblok wkwkwk.
Sisanya, I got through it good enough. Gue menyadari bahwa semua yang berhubungan dengan akademis itu cuma perlu dilakuin dengan just enough. Not too little, not too much. Just enough. Soalnya dengan begitu, gue akan ngerasa effort gue terbayarkan tanpa merasa kecewa. Something along the lines of, "Segini doang, padahal gue udah berdarah-darah grindingnya?". Gue rasa itu malah lebih mengecewakan dibanding less effort yang mengakibatkan less result.
Just enough is good enough.
Reflection
This semester was a roller coaster. Dari awal memang digosipkan sebagai semester paling berat untuk maba, jadi gue udah expect yang terburuk. Tapi siapa sangka naik turunnya bisa seekstrem ini? Wkwkwk. Kalo dibikin summary, semester tiga ini udah kayak satu anime arc sendiri. Dari "It's not as bad as I thought" phase, ke burdened phase, ke heartbroken phase, ke feeling only half alive phase, ke lowest point, ke "I can't do this alone" phase, sampe ke redemption phase. Lengkap banget deh.
Ada satu fase dimana gue beneran merusak diri rasanya. Terus pelampiasan itu gue belajar, belajar, belajar, atau kerja, kerja, kerja. Pokoknya apapun yang bisa mengalihkan perhatian gue dari pikiran negatif. Gue sadarnya belakangan banget kalo ternyata itu ngga sehat. Karena selama ini, rupanya mak gue lah yang, in a way, mencegah gue untuk masuk ke lifestyle maut itu. Kalo dulu, dengan ngajak gue jalan-jalan, beli buku, ngedaftarin gue ke les nonakademis, dan banyak lah effort yang beliau lakukan supaya gue bisa punya work-life (atau kalo dulu mungkin school-life) balance. Tapi berhubung sekarang kami sama-sama terkurung di rumah, ga banyak yang bisa dilakukan.
Gue rasa itu sih salah satu realization terbesar gue semester ini. The results were great, tapi looking back, prosesnya sama sekali ngga bikin gue hepi. Makanya untuk semester-semester depan, gue rasa cita-cita gue yang utama adalah: gue pengen kuliah dengan hepi. :D
Conclusion
Singkatnya mah, semester tiga ini adalah learning experience yang sangat besar untuk gue. I'm learning more about myself. Gue rasa pengalaman di tahun pertama kuliah itu membuat gue terbiasa dengan suasana baru, which is a good thing, dengan semua teman-teman yang berada dalam close proximity. Hanya saja berkat PJJ, gue kehilangan semua itu. Lalu ternyata, untuk tetap maju, gue harus kembali ke kebiasaan gue yang lama, yang memperbolehkan gue hidup-- uhh, mandiri, essentially. Back to my past self who knows how to be alone. :D
Was it fun? No. Was it memorable? Yes. Was it a good memory? No. Would I do it again? Absolutely not. 0/10 would not recommend.
See you on the next one~